Ruh Penari, Sunting Penari, Kepala Penari
September 15, 2013

Dimuat Padang Ekspres, Minggu, 15 September 2013 ||
Ruh Penari
bansi yang menyayat membukakan pintu
maka merasuklah ruh penari ke batang tubuhmu
meronta-ronta kau di dalam pusaran ingatan
seolah memijak pecahan beling yang serupa kenangan
tapak yang menahan luka dibawa jua bersilonjak
ada sepasang tangan tengah menating sepi
dan rindu menanai di tangan lainnya
meski kau sembunyikan lewat ragam denting
dari gerak kuku berinai di ujung jemari
serta lukisan bibir melengkung
terasa gembira, girang bukan kepalang
serasa asap dupa meruah menjemput dewa
menyebar kabar tentang panen melimpah
tapi sekepal hatiku bukan tidak bertelinga
kau ruh penari, pantang bagimu mengaduh
perih kau simpan rapat di hati paling tepi
segala mengabu dalam gerakmu yang api
penari, aku bersetia merawat luka
membunuh sepi atau mengutuk rindu
selagi kau masih sanggup berlenggak-lenggokan
sekalipun tidak di kedalaman ceruk mataku
Sunting Penari
“semua penari paham, tiada seteliti
ketika menancapkan sunting ke pangkal rambut
maka tak hendak kutanggal-tanggalkan lagi”
sampai kapan sebagianmu dikuasai bayang-bayang
yang bersekutu membingkai bentuk serupa tubuh
lalu terperosok ke jauh jurang khayal
dan kau bersikukuh memaknainya sebagai perjalanan yang utuh
sebelum kau tergelincir di bencah sehabis hujan
langkah hanya akan menelusuri satu dari sekian silang
tak akan ada jejak untuk dibaca pulang, sayang
sebab senja akan terus beranjak menuju kelam
duhai penari, lepaslah suntingmu
biar kecupku bertamu ke kepalamu
selagi belum habis malam
Kepala Penari
aku ingin memenggal kepalamu, penari
untuk kemudian kusimpan di kepalaku
selagi ingatanku lompong tanpa sebekas pijakan pun
dan detak jantung memacu seolah mengejar bis terakhir
ada gigil bagi serabut saraf yang tersentak di benak
tengah menganyam sebentuk sarang
peletak bagi kepalamu kelak
lalu kita akan sama-sama merangkai imaji
bercumbu di kedalamannya
menyaksikkan mimpi-mimpi malam yang serupa
dan kita hadir sebagai gerakan hitam putih
yang hanya kita mengerti di larut kebisuan
sampai kau terjaga dan menyadari aroma luka
aku tengah memenggal kepalaku, penari
sesukamu hendak ke mana kau tendang-tendang